Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial

Posted by Unknown On Jumat, 10 Agustus 2012 0 komentar

Pemberdayaan Perempuan dan Perubahan Sosial


Dalam harian Kompas beberapa waktu lalu disebutkan, komitmen Indonesia dalam melaksanakan tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals atau MDG’s) mengalami penurunan yang signifikan. Posisi terakhir, hanya dapat disejajarkan dengan Myanmar dan negara-negara Afrika umumnya.
Jangan tanya negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang di dasawarsa 70-an banyak belajar dari Indonesia, dengan mendatangkan sejumlah mahasiswa ke berbagai perguruan tinggi dan para pekerja minyak ke Pertamina. Jadilah University of Malaysia dan Petronas seperti sekarang, meninggalkan jauh “guru”-nya.
Selain pendidikan dan perminyakan, salah satu yang paling menonjol ialah tentang kesetaraan gender yang merupakan salah satu indikator MDG’s.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan organisasi wanita barat mem-booming pada dasawarsa kedua di abad ini. Hal tersebut direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia sendiri.
Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita Indonesia. Bayangkan saja, pada masa itu kungkungan adat sering dituding menomorduakan wanita Indonesia di belakang kaum pria. Demikian pula penterjemahan yang salah dari dogma agama, seolah menjadi pembenaran bahwa kaum perempuan harus berada di belakang kaum adam dalam segala aspek dan bidang kehidupan.
Dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I tadi dapat dikatakan, respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia.
Sama halnya seperti lahirnya sejumlah program penanggulangan kemiskinan yang mulai dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1990, tentang Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) untuk hal yang bersifat ekonomi kerakyatan. Program IDT disusul dan dilengkapi P3DT untuk kegiatan infrastruktur pedesaan. Selanjutnya “dikawinkan” melalui program PPK yang menangkap kedua program (ekonomi dan infrastruktur) yang dikenal dengan open menu. Kemudian disusul dengan kegiatan sejenis untuk di perkotaan dengan nama P2KP.
Namun, sebenarnya yang membedakan adalah payung besarnya. PPK melalui Kementrian Dalam Negeri, dan P2KP melalui Departemen Pekerjaan Umum, meski keduanya sama-sama menyitir pemberdayaan perempuan sebagai salah satu isunya.
Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya, seperti yang dikatakan Antropolog dan peneliti senior LIPI EKM Masinambow, merupakan suatu proses perubahan yang mencakup, antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada.
Kembali ke masalah pembangunan yang berwawasan gender (Gender Equitable Development atau GED) yang di Indonesia saat ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan pembangunan yang tak berkelanjutan. Ahli Community Capacity Building lulusan Columbia University (AS), Aisyah Muttalib mengatakan, GED adalah suatu transformasi untuk men-gender-kan (en-gender) ekonomi hingga akan terwujud suatu tatanan ekonomi baru, di mana pemerataan gender dipegang sebagai suatu nilai yang paling mendasar.

0 komentar:

Posting Komentar