Manfaat Dan Hambatan Pemberdayaan Masyarakat
Manfaat yang Diharapkan dari Program Pemberdayaan Masyarakat
Program Pengembangan masyarakat biasanya dikaji dari sudut pandang ekonomi belaka. Hal ini memang penting, tetapi manfaat ekonomi hanya akan bisa berkelanjutan jika masyarakat sendiri memiliki dan mengelola kegiatan. Pendekatan pemberdayaan pada awalnya terpusat pada perubahan sosial dan organisasi yang dibutuhkan bagi masyarakat agar mampu memegang kendali. Ini akan mendukung:
- Peningkatan kesejahtaraan jangka waktu panjang yang berkelanjutan
- Peningkatan penghasilan dan perbaikan penghidupan di masyarakat dan kelompok dengan penghasilan kecil
- Peningkatan penggunaan sumber-sumber pengembangan secara efektif dan efisien
- Program pengembangan dan pemberian pelayanan yang lebih efektif, efisien dan terfokus pelanggan
- Proses pengembangan yang lebih demokratis
Hal-hal di bawah ini merupakan hambatan terhadap pengembangan atau pelaksanaan kebijakan yang mendukung atau memampukan Pemberdayaan Masyarakat:
Kurangnya pemahaman atau komitmen yang sungguh-sungguh
Walaupun sebagian besar pemegang kendali, termasuk penyusun kebijakan, dapat mendukung dasar-dasar Pemberdayaan Masyarakat dan memiliki pemahaman yang umum tentang persyaratannya, namun pembuat keputusan dapat kembali kependekatan top-down. Hal ini bisa terjadi karena kurang memahami bagaimana memberdayakan masyarakat, atau sudah memahami tetapi pada saat dimana terasa ada krisis dan/atau tekanan sulit dilakukan
Hambatan perilaku
"Pegawai Negeri" vs "Pelayan Masyarakat": Sebagian besar orang masih cenderung menganggap bahwa pegawai negeri - sesuai dengan namanya - dipekerjakan dan digaji oleh pemerintah. Walhasil, implikasi persepsi semacam ini adalah para pegawai negeri harus lebih mengutamakan kepentingan "pemerintah" jika diperhadapkan dengan kepentingan masyarakat. Padahal justru masyarakatlah klien sejati mereka. Belum ada suatu pengakuan bahwa gaji "pegawai negeri" berasal dari pajak yang dibayar masyarakat dan hasil pengolahan sumber daya yang merupakan milik masyarakat. Terlebih lagi kesadaran bahwa fungsi pertama dan utama pegawai negeri adalah sebagai "pelayan masyarakat".
Hambatan Kebijakan Keuangan
Kekakuan sistem penganggaran proyek serta sistim pengawasan keuangan negara yang sangat kurang fleksibilitasnya dan lebih berfokus pada aspek administrasi dan pencapaian target fisik semata tanpa melihat proses yang terjadi. Selain itu pula, kelompok masyarakat kurang mengontrol penggunaan dana-dana pusat (DIP sektoral) dan dana transfer (seperti Inpres). Mungkin tidak cukup dukungan keuangan bagi Pemberdayaan Masyarakat dari sumber-sumber daya lokal, baik disebabkan oleh rendahnya tingkat pemungutan pajak, rendahnya tingkat pengendalian 'dana hibah' dari pusat atau rendahnya tingkat komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan sumberdaya pemerintah setempat bagi usaha Pemberdayaan Masyarakat. Sumberdaya masyarakat sendiri dapat digerakkan sampai ke tingkat tertentu tapi nampaknya akan membuktikan rendahnya kualitas penanganan input dan dukungan.
Jangka waktu yang dibutuhkan bagi perubahan di tingkat yang lebih tinggi
Ada kecenderungan dari program-program Pemberdayaan Masyarakat untuk melupakan bahwa perubahan-perubahan di tingkat lokal itu jauh lebih mudah diperkenalkan, dan bahwa resistensi(penolakan) di tingkat yang lebih tinggi akan lebih besar sampai tingkat pemahaman dan komitmen yang tulus untuk berubah dapat diperkenalkan kepada penyusun kebijakan.
Diversifikasi budaya, ekonomi, geografis, suku bangsa
Ada keprihatinan bahwa kebijakan yang dikembangkan untuk mendukung Pemberdayaan Masyarakat tidak akan cukup fleksibel untuk mengakomodasi kondisi geografis, tingkat ekonomi dan budaya yang berbeda-beda. Harus diperhatikan bahwa kebijakan yang memungkinkan, tetapi tidak menghalangi proses adaptasi yang dibutuhkan untuk memastikan strategi Pemberdayaan Masyarakat yang tepat, diteruskan di tingkat lokal.
Struktur, Fungsi dan Perilaku Pelayanan Umum
Sistem perencanaan dan kepemimpinan pembangunan yang terpusat selama tiga puluh dua tahun, telah melahirkan tenaga pelayanan umum tingkat lapangan yang terbiasa mengikuti instruksi dari pusat. Akibatnya mereka tidak terlatih untuk mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi serta merubah suatu proyek di tingkat daerah. Inovasi dan pengambilan keputusan oleh staf tingkat lapangan tidak pernah dihargai; sehingga mereka mengalami kesulitan berperan sebagai fasilitator dalam kelompok masyarakat, yang kemudian mempromosikan dan mempertahankan kegiatan-kegiatan yang dihasilkan.
Kurangnya Data Monitoring dan Evaluasi yang bermutu
Kualitas yang kurang baik dari umpan balik dan/atau arus informasi manajemen dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi sering ditemui. Mungkin ada keraguan dari lembaga-lembaga lokal untuk berbagi informasi tentang kelemahan program-program Pemberdayaan Masyarakat. Secara khusus mereka merasa bahwa informasi dapat digunakan untuk mengendalikan proses, bukan memfasilitasi dan mengembangkan dukungan kebijakan yang tepat. Hal ini dapat membawa ke situasi dimana kebijakan dan peraturan yang mendukung sulit atau tidak mungkin dikembangkan karena pendekatan-pendekatan yang berhasil belum dievaluasi dan pelajaran yang dipetik tidak dikomunikasikan kepada tingkat penyusun kebijakan dan pembuat keputusan. Dibutuhkan perubahan besar pada fokus dari program Monitoring dan Evaluasi untuk memastikan diletakkannya penekanan yang lebih banyak pada dinamika Pemberdayaan Masyarakat dan lebih sedikit pada sasaran produksi.
Indikator yang tidak tepat
Orientasi Pemberdayaan Masyarakat selama ini selalu diukur dalam bentuk fisik, komoditas, dan diukur dari sisi input dan kwalitatif, daripada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses.
Kebanyakan program Pengembangan Masyarakat berorientasi fisik dan komoditas. Indikator keberhasilan diukur dari realisasi input berdasarkan kwantitas daripada orientasi non-fisik dengan ukuran dampak dan proses.
Sistem administrasi yang terlalu birokratis
Adanya berbagai peraturan hukum yang mengatur mengenai Program Pengembangan Masyarakat yang kaku yang didasarkan pada Surat Keputusan (SK), Petunjuk Pelaksanaan ( Juklak), Petunjuk Teknis(Juknis) juga sistem penganggaran. Hal ini menyebabkan sulitnya petugas lapang berhadapan dengan kenyataan yang membutuhkan fleksibilitas. Akibatnya, tujuan PM (pemberdayaan atau pengembangan masyarakat?) sulit dicapai karena orientasi petugas lebih kepada mengikuti peraturan daripada menjawab kebutuhan di lapangan.
Kurangnya koordinasi program/proyek pada tingkat internal atau antar sektor
Program/proyek lain (pada instansi yang sama atau instansi yang berbeda) sering menggunakan pendekatan yang bertentangan dengan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, sehingga bisa mempengaruhi proses implementasi Pemberdayaan Masyarakat di tingkat masyarakat atau lembaga sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar