PENGUMUMAN
PENERIMAAN TENAGA KONTRAK PENDAMPING (TKP) DAN
PEMBANTU LAPANG PETUGAS TENAGA KONTRAK PENDAMPING (PLP-TKP)
Nomor : 816/2312
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia membutuhkan Tenaga Kontrak Pendamping Bidang perkebunan untuk mendukung Program Pengembangan Tanaman Tebu sebanyak 125 (Seratus dua puluh lima) orang terdiri dari : 32 (Tiga puluh dua) orang Tenaga Kontrak Pendamping (TKP) dan 93 (Sembilan puluh tiga) orang Pembantu Lapang Petugas-Tenaga Kontrak Pendamping (PLP-TKP).
Adapun persyaratan administrasi, lamaran, seleksi dan penetapannya, dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Persyaratan Administrasi
a. Persyaratan Utama :
1. Warga Negara Indonesia (WNI)
2. Usia Maksimal :
§ Untuk Petugas Kontrak Pendamping (TKP) berusia maksimal 30 tahun pada tanggal 1 Pebruari 2012;
§ Untuk Pembantu Lapang Petugas Tenaga Kontrak Pendamping (PLP-TKP) berusia maksimal 25 tahun pada tanggal 1 Pebruari 2012;
3. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dari dokter pemerintah;
4. Berkelakuan baik;
5. Tidak terikat pekerjaan dengan Institusi lain;
6. Pendidikan :
a. Untuk Tenaga Kontrak Pendamping (TKP) :
§ Minimal lulusan S-1 Pertanian;
§ Diutamakan dari Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta setempat dengan Akreditasi Minimal C;
§ Nilai Indek Prestasi Kumulatif (IPK) untuk lulusan perguruan tinggi negeri minimal 2,50 dan perguruan tinggi swasta 2,65.
b. Untuk Pembantu Lapang Petugas Tenaga Kontrak Pendamping (PLP-TKP) :
§ Minimal lulusan setingkat SLTA pertanian diutamakan lulusan SMK Bidang Pertanian (SPMA, SpbMA, SPP, STM Pertanian, dll);
§ Diutamakan dari sekolah negeri atau swasta setempat;
§ Nilai rata-rata Ijazah minimal 6,5.
b. Pesyaratan lain.
1. Bersedia bekerja/ditempatkan di lokasi selama masa kontrak secara terus menerus;
2. Bersedia bekerja dengan status Tenaga Kontrak dalam masa kerja tertentu, dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku;
3. Tidak menuntut untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS);
4. Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja, karena sesuatu hal, tidak akan menuntut pesangon atau ganti rugi dikemudian hari;
5. Bersedia mengikuti pelatihan sebelum melaksanakan tugas;
6. Bersedia mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas yang membidangi perkebunan setempat dan ketentuan lain yang berlaku;
7. Memiliki motivasi kerja untuk melaksanakan tugas pendampingan pembangunan perkebunan rakyat;
8. Mampu bekerja keras dan berdedikasi tinggi serta mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas yang diberikan.
2. Lamaran
a. Surat
lamaran ditujukan kepada Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
Jl. Jend. Gatot Subroto Tarubudaya Kotak Pos 128 Ungaran 50501;
b. Surat lamaran disampaikan melalui pos paling lambat diterima panitia tanggal 2 Maret 2012 pukul 14.00 WIB stempel pos,
c. Surat lamaran yang dibawa langsung oleh pelamar tidak diterima panitia ;
d. Surat lamaran ditulis tangan, menggunakan tinta hitam dengan dibubuhi materai Rp. 6.000,- dengan dilampiri :
1. Daftar Riwayat Hidup;
2. Foto copy Ijazah dan Transkrip nilai yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;
3. Pas Photo hitam putih ukuran 4 x 6 sebanyak 2 lembar;
4. Surat Keterangan Dokter Pemerintah yang menyatakan sehat jasmani dan rohani;
5. Surat Keterangan berkelakuan baik dari Kepolisian;
6. Surat Pernyataan tidak sedang terikat pekerjaan dengan Instansi lain;
7. Surat Pernyataan bersedia ditempatkan di lokasi kegiatan Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah;
8. Surat
Pernyataan tidak menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),
dan tidak akan menuntut pesangon atau ganti rugi apabila terjadi
pemutusan hubungan kerja bermaterai Rp.6.000,-;
9. Surat Pernyataan bersedia mengikuti pelatihan/pembekalan sebelum melaksanakan tugas;
10. Surat Pernyataan bersedia mematuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah;
11. Surat lamaran beserta lampiran dimasukkan ke dalam stopmap warna Biru untuk TKP dan stopmap warna Kuning untuk PLP-TKP dan dimasukkan kedalam amplop tertutup.
3. Seleksi dan Penetapan Penerimaan Tenaga Kontrak.
a. Seluruh
berkas lamaran akan diseleksi administrasi oleh panitia seleksi daerah
yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah;
b. Penetapan berkas lulus seleksi administrasi untuk S-1 (TKP) maksimal 64 orang dan SLTA (PLP-TKP) maksimal 186 orang;
c. Penetapan kelulusan seleksi di prioritaskan bagi pelamar dengan IP tertinggi/nilai Ijazah tertinggi, umur lebih muda dan domisili diutamakan dekat dengan lokasi kegiatan.
d. Pelamar yang lulus seleksi administrasi dapat dilihat pada papan pengumuman Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 5 Maret 2012,
dan bagi peserta yang dinyatakan lulus seleksi administrasi dapat
mengambil nomor ujian test pada panitia daerah mulai tanggal 5 Maret 2012, sedangkan test akan dilaksanakan pada :
a) Test tertulis :
o Hari/tgl : Selasa, 6 Maret 2012
o Pukul : 09.00 WIB
o Tempat : Ruang Sidang Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
b) Test wawancara :
o Hari : Selasa, 6 Maret 2012 (untuk S-1) mulai jam 13.00 WIB
Rabu, 7 Maret 2012 (untuk SLTA) mulai jam 09.00 WIB
o Tempat : Ruang Sidang Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah
- Bagi pelamar yang tidak memenuhi persyaratan administrasi tidak diikutkan dalam seleksi/test (tertulis dan wawancara);
- Penetapan kelulusan peserta tes ditetapkan oleh Panitia yang di umumkan di papan pengumuman Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 12 Maret 2012;
- Hasil Keputusan Panitia tidak dapat diganggu gugat;
- Peserta yang dinyatakan lulus akan diangkat/ditetapkan sebagai Tenaga Kontrak Pendamping (TKP) dan Pembatu Lapang Petugas Tenaga Kontrak Pendamping (PLP-TKP) oleh Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Ungaran, 27 Pebruari 2012
An. KEPALA DINAS PERKEBUNAN
PROVINSI JAWA TENGAH
KEPALA BIDANG SARANA DAN PRASARANA PERKEBUNAN
Selaku Ketua Panitia Seleksi Daerah
Ir. SIGIT LARSITO, M.Si
Pembina Tingkat I
NIP. 195612131982021003PROSES REKRUTMENT DAN SELEKSI TKP DAN PLP-TKP TAHUN 2012
PENERIMAAN BERKAS LAMARAN
SELEKSI ADMINISTRASI
|
PENGUMUMAN
|
PENGAMBILAN NOMOR UJIAN
|
UJIAN TERTULIS UMUM
|
PENGUMUMAN AKHIR DAN
PANGGILAN PESERTA
|
PELATIHAN PETUGAS PENDAMPING
|
WAWANCARA
|
Lulus
|
Ungaran, 27 Pebruari 2012
An. KEPALA DINAS PERKEBUNAN
PROVINSI JAWA TENGAH
KEPALA BIDANG SARANA DAN PRASARANA PERKEBUNAN
Selaku Ketua Panitia Seleksi Daerah
Ir. SIGIT LARSITO, M.Si
Pembina Tingkat I
NIP. 195612131982021003
|
Minggu II – III Maret 2012
|
12 Maret 2012
|
Mulai 5 Maret 2012
|
27 Pebruari 2012
Paling lambat 2 Maret 2012
Pukul 14.00 WIB ( Stempel Pos )
|
28 s/d 3 Maret 2012
|
KRITERIA PENILAIAN ADMINISTRASI TKP DAN PLP-TKP YANG BERHAK LOLOS MENGIKUTI
TES TERTULIS DAN WAWANCARA
1. Surat lamaran bermaterai Rp. 6.000,- disampaikan lewat pos paling lambat tanggal 2 Maret 2012 pukul 14.00 WIB (stempel pos).
2. Nilai
Rata-rata ijazah Minimal 6,5 SLTA sederajat (SMK Bidang Pertanian) dan
Nilai Indeks Prestasi Kumulatif ( IPK ) minimal 2,50 untuk Perguruan
Tinggi Negeri dan minimal 2,65 untuk Perguruan Tinggi Swasta dan
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
3. Usia Maksimal : 30 tahun untuk S-1 pada tanggal 1 Pebruari 2012
25 tahun untuk SLTA Pertanian pada tanggal 1 Pebruari 2012
4. Sehat Jasmani dan Rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter pemerintah.
5. Berkelakuan Baik yang diberikan oleh Kepolisian ( SKCK ) yang masih berlaku.
6. Pendidikan :
Lulusan S-1 Pertanian : Dari Perguruan Tinggi negeri atau swasta dengan Akreditasi minimal C.
Nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 2,65 dari PT. swasta dan 2,50 dari PT. Negeri
Lulusan SLTA : SLTA sederajat, diutamakan SMK bidang Pertanian nilai rata-rata ijazah minimal 6,5
7. Membuat surat pernyataan (terlampir) bermaterai Rp. 6.000,-
8. Surat lamaran diluar ketentuan diatas dinyatakan gugur (tidak lulus).
9. Penetapan berkas yang lulus seleksi administrasi untuk S-1 maksimal 64 orang dan SLTA Pertanian diutamakan SPMA/SMK Pertanian maksimal 186 orang berdasarkan ranking tertinggi point dari no. 2 diatas.
10. Hasil Keputusan Panitia seleksi tidak dapat diganggu gugat.
Ungaran, 27 Pebruari 2012
An. KEPALA DINAS PERKEBUNAN
PROVINSI JAWA TENGAH
KEPALA BIDANG SARANA DAN PRASARANA PERKEBUNAN
Selaku Ketua Panitia Seleksi Daerah
Ir. SIGIT LARSITO, M.Si
Pembina Tingkat I
NIP. 195612131982021003
|
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Tempat tanggal lahir :
Pendidikan terakhir :
Alamat :
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa saya :
1. Tidak
pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena tindak pidana
kejahatan.
2. Tidak akan menuntut diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil.
3. Bersedia ditempatkan di wilayah kegiatan yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
4. Tidak sedang terikat pekerjaan dengan institusi lain.
5. Apabila
karena sesuatu hal diberhentikan dari Tenaga Kontrak Pendamping ( TKP )
atau Pembantu Lapang Petugas Tenaga Kontrak Pendamping ( PLP-TKP ),
tidak akan menuntut ganti rugi dan/atau uang pesangon.
6. Bersedia mengikuti Pelatihan sebelum melaksanakan tugas.
7. Bersedia mematuhi ketentuan yang ditetapkan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan saya bersedia
dituntut dimuka pengadilan serta bersedia memenuhi segala tindakan yang
diambil oleh pemerintah, apabila dikemudian hari terbukti pernyataan
saya ini tidak benar.
Materai
Rp. 6.000,-
|
Yang membuat pernyataan.
-------------------------------------------
|
Rabu-Kamis, 4-5 Juli 2012 berlangsung kegiatan Pendampingan Bagi Teman Sejawat (Mentoring) yang diselenggarakan oleh Bidang Pengembangan Kepemimpinan Bapelsin XXV GKJ bersama Komisi Pastorpastorum Sinode GKJ. kegiatan acara tersebut dihadiri oleh utusan Klasis-klasis di lingkungan Sinode GKJ tersebut bertujuan untuk berbagi pengalaman sebagai pendamping dan sharing berbagi pengalaman serta pengembangan spiritualitas seorang pendamping.
Sosok Pendeta ideal yang diharapkan tidak tercipta semata-mata sebagai "bawaan" sejak lahir, melainkan karena dibentuk, dilatih dan dibiasakan, yang dilaksanakan dengan sengaja, terencana/terprogram, dengan variabel-variabel dan parameter-parameter tertentu sebagai sarana evaluasinya.
Dalam rangka membentuk sosok pendeta GKJ yang ideal, tentu bisa tumbuh dari diri sndiri, seorang pendeta membutuhkan orang lain sebagai teman perjalanan untuk memenuhi panggilan sebagai pendeta. Disinilah kita melihat perlunya seorang teman yang akan dapat menjadi teman perjalanan yang melakukan ziarah, yang disebut sebagai mentor.
Seorang mentor tidak bertindak menjadi atasan, sementara bagi sang mentee menjadi bawahan, oleh karenannya seorang mentor juga tidak boleh merasa lebih tahu daripada sang mentee. Seorang mentor diharapkan mampu menjadi teman sejawat yang sedang menjalankan kehidupan selaku pelayan Tuhan. Disinilah sebenarnya terletak hubungan yang sejajar /mitra diantara mentor dan mentee.
Dalam proses pendampingan tersebut, muncullah sikap saling membagikan pengalaman pelayanan, dan nilai-nilai kebajikan yang muncul dalam suasana saling percaya, saling mendukung, menegur, menasehati, dan mengukuhkan/menguatkan.
Oleh sebab itu agar mampu menjadi mentor yang lebih baik, perlu adanya pembekalan bagi para mentor, agar mampu menjadi rekan sejawab yang baik bagi teman yang lain. Melalui pembekalan tersebut diharapkan pendamping/mentor dapat menjalankan peranannya secara maksimal sehingga dapat membantu para vikaris atau pendeta muda mengembangkan kapasitas, karakter dan profesi sebagai seorang pendeta.
Gambar Terkait :
READ MORE
Sosok Pendeta ideal yang diharapkan tidak tercipta semata-mata sebagai "bawaan" sejak lahir, melainkan karena dibentuk, dilatih dan dibiasakan, yang dilaksanakan dengan sengaja, terencana/terprogram, dengan variabel-variabel dan parameter-parameter tertentu sebagai sarana evaluasinya.
Dalam rangka membentuk sosok pendeta GKJ yang ideal, tentu bisa tumbuh dari diri sndiri, seorang pendeta membutuhkan orang lain sebagai teman perjalanan untuk memenuhi panggilan sebagai pendeta. Disinilah kita melihat perlunya seorang teman yang akan dapat menjadi teman perjalanan yang melakukan ziarah, yang disebut sebagai mentor.
Seorang mentor tidak bertindak menjadi atasan, sementara bagi sang mentee menjadi bawahan, oleh karenannya seorang mentor juga tidak boleh merasa lebih tahu daripada sang mentee. Seorang mentor diharapkan mampu menjadi teman sejawat yang sedang menjalankan kehidupan selaku pelayan Tuhan. Disinilah sebenarnya terletak hubungan yang sejajar /mitra diantara mentor dan mentee.
Dalam proses pendampingan tersebut, muncullah sikap saling membagikan pengalaman pelayanan, dan nilai-nilai kebajikan yang muncul dalam suasana saling percaya, saling mendukung, menegur, menasehati, dan mengukuhkan/menguatkan.
Oleh sebab itu agar mampu menjadi mentor yang lebih baik, perlu adanya pembekalan bagi para mentor, agar mampu menjadi rekan sejawab yang baik bagi teman yang lain. Melalui pembekalan tersebut diharapkan pendamping/mentor dapat menjalankan peranannya secara maksimal sehingga dapat membantu para vikaris atau pendeta muda mengembangkan kapasitas, karakter dan profesi sebagai seorang pendeta.
Gambar Terkait :
Manfaat Dan Hambatan Pemberdayaan Masyarakat
Manfaat yang Diharapkan dari Program Pemberdayaan Masyarakat
Program Pengembangan masyarakat biasanya dikaji dari sudut pandang ekonomi belaka. Hal ini memang penting, tetapi manfaat ekonomi hanya akan bisa berkelanjutan jika masyarakat sendiri memiliki dan mengelola kegiatan. Pendekatan pemberdayaan pada awalnya terpusat pada perubahan sosial dan organisasi yang dibutuhkan bagi masyarakat agar mampu memegang kendali. Ini akan mendukung:
- Peningkatan kesejahtaraan jangka waktu panjang yang berkelanjutan
- Peningkatan penghasilan dan perbaikan penghidupan di masyarakat dan kelompok dengan penghasilan kecil
- Peningkatan penggunaan sumber-sumber pengembangan secara efektif dan efisien
- Program pengembangan dan pemberian pelayanan yang lebih efektif, efisien dan terfokus pelanggan
- Proses pengembangan yang lebih demokratis
Hal-hal di bawah ini merupakan hambatan terhadap pengembangan atau pelaksanaan kebijakan yang mendukung atau memampukan Pemberdayaan Masyarakat:
Kurangnya pemahaman atau komitmen yang sungguh-sungguh
Walaupun sebagian besar pemegang kendali, termasuk penyusun kebijakan, dapat mendukung dasar-dasar Pemberdayaan Masyarakat dan memiliki pemahaman yang umum tentang persyaratannya, namun pembuat keputusan dapat kembali kependekatan top-down. Hal ini bisa terjadi karena kurang memahami bagaimana memberdayakan masyarakat, atau sudah memahami tetapi pada saat dimana terasa ada krisis dan/atau tekanan sulit dilakukan
Hambatan perilaku
"Pegawai Negeri" vs "Pelayan Masyarakat": Sebagian besar orang masih cenderung menganggap bahwa pegawai negeri - sesuai dengan namanya - dipekerjakan dan digaji oleh pemerintah. Walhasil, implikasi persepsi semacam ini adalah para pegawai negeri harus lebih mengutamakan kepentingan "pemerintah" jika diperhadapkan dengan kepentingan masyarakat. Padahal justru masyarakatlah klien sejati mereka. Belum ada suatu pengakuan bahwa gaji "pegawai negeri" berasal dari pajak yang dibayar masyarakat dan hasil pengolahan sumber daya yang merupakan milik masyarakat. Terlebih lagi kesadaran bahwa fungsi pertama dan utama pegawai negeri adalah sebagai "pelayan masyarakat".
Hambatan Kebijakan Keuangan
Kekakuan sistem penganggaran proyek serta sistim pengawasan keuangan negara yang sangat kurang fleksibilitasnya dan lebih berfokus pada aspek administrasi dan pencapaian target fisik semata tanpa melihat proses yang terjadi. Selain itu pula, kelompok masyarakat kurang mengontrol penggunaan dana-dana pusat (DIP sektoral) dan dana transfer (seperti Inpres). Mungkin tidak cukup dukungan keuangan bagi Pemberdayaan Masyarakat dari sumber-sumber daya lokal, baik disebabkan oleh rendahnya tingkat pemungutan pajak, rendahnya tingkat pengendalian 'dana hibah' dari pusat atau rendahnya tingkat komitmen pemerintah daerah untuk mengalokasikan sumberdaya pemerintah setempat bagi usaha Pemberdayaan Masyarakat. Sumberdaya masyarakat sendiri dapat digerakkan sampai ke tingkat tertentu tapi nampaknya akan membuktikan rendahnya kualitas penanganan input dan dukungan.
Jangka waktu yang dibutuhkan bagi perubahan di tingkat yang lebih tinggi
Ada kecenderungan dari program-program Pemberdayaan Masyarakat untuk melupakan bahwa perubahan-perubahan di tingkat lokal itu jauh lebih mudah diperkenalkan, dan bahwa resistensi(penolakan) di tingkat yang lebih tinggi akan lebih besar sampai tingkat pemahaman dan komitmen yang tulus untuk berubah dapat diperkenalkan kepada penyusun kebijakan.
Diversifikasi budaya, ekonomi, geografis, suku bangsa
Ada keprihatinan bahwa kebijakan yang dikembangkan untuk mendukung Pemberdayaan Masyarakat tidak akan cukup fleksibel untuk mengakomodasi kondisi geografis, tingkat ekonomi dan budaya yang berbeda-beda. Harus diperhatikan bahwa kebijakan yang memungkinkan, tetapi tidak menghalangi proses adaptasi yang dibutuhkan untuk memastikan strategi Pemberdayaan Masyarakat yang tepat, diteruskan di tingkat lokal.
Struktur, Fungsi dan Perilaku Pelayanan Umum
Sistem perencanaan dan kepemimpinan pembangunan yang terpusat selama tiga puluh dua tahun, telah melahirkan tenaga pelayanan umum tingkat lapangan yang terbiasa mengikuti instruksi dari pusat. Akibatnya mereka tidak terlatih untuk mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi serta merubah suatu proyek di tingkat daerah. Inovasi dan pengambilan keputusan oleh staf tingkat lapangan tidak pernah dihargai; sehingga mereka mengalami kesulitan berperan sebagai fasilitator dalam kelompok masyarakat, yang kemudian mempromosikan dan mempertahankan kegiatan-kegiatan yang dihasilkan.
Kurangnya Data Monitoring dan Evaluasi yang bermutu
Kualitas yang kurang baik dari umpan balik dan/atau arus informasi manajemen dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi sering ditemui. Mungkin ada keraguan dari lembaga-lembaga lokal untuk berbagi informasi tentang kelemahan program-program Pemberdayaan Masyarakat. Secara khusus mereka merasa bahwa informasi dapat digunakan untuk mengendalikan proses, bukan memfasilitasi dan mengembangkan dukungan kebijakan yang tepat. Hal ini dapat membawa ke situasi dimana kebijakan dan peraturan yang mendukung sulit atau tidak mungkin dikembangkan karena pendekatan-pendekatan yang berhasil belum dievaluasi dan pelajaran yang dipetik tidak dikomunikasikan kepada tingkat penyusun kebijakan dan pembuat keputusan. Dibutuhkan perubahan besar pada fokus dari program Monitoring dan Evaluasi untuk memastikan diletakkannya penekanan yang lebih banyak pada dinamika Pemberdayaan Masyarakat dan lebih sedikit pada sasaran produksi.
Indikator yang tidak tepat
Orientasi Pemberdayaan Masyarakat selama ini selalu diukur dalam bentuk fisik, komoditas, dan diukur dari sisi input dan kwalitatif, daripada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses.
Kebanyakan program Pengembangan Masyarakat berorientasi fisik dan komoditas. Indikator keberhasilan diukur dari realisasi input berdasarkan kwantitas daripada orientasi non-fisik dengan ukuran dampak dan proses.
Sistem administrasi yang terlalu birokratis
Adanya berbagai peraturan hukum yang mengatur mengenai Program Pengembangan Masyarakat yang kaku yang didasarkan pada Surat Keputusan (SK), Petunjuk Pelaksanaan ( Juklak), Petunjuk Teknis(Juknis) juga sistem penganggaran. Hal ini menyebabkan sulitnya petugas lapang berhadapan dengan kenyataan yang membutuhkan fleksibilitas. Akibatnya, tujuan PM (pemberdayaan atau pengembangan masyarakat?) sulit dicapai karena orientasi petugas lebih kepada mengikuti peraturan daripada menjawab kebutuhan di lapangan.
Kurangnya koordinasi program/proyek pada tingkat internal atau antar sektor
Program/proyek lain (pada instansi yang sama atau instansi yang berbeda) sering menggunakan pendekatan yang bertentangan dengan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat, sehingga bisa mempengaruhi proses implementasi Pemberdayaan Masyarakat di tingkat masyarakat atau lembaga sendiri.
Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 memberikan dampak yang luas pada perubahan sistem pemerintahan. Jika pada era Orde Baru kekuasaan sangat bersifat sentralistik, reformasi melahirkan sistem pembagian kekuasaan yang mulai terdistribusi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Hal ini terwujud dalam Sistem Desentralisasi yang secara legal dilahirkan lewat Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian menyebabkan Perubahan Kedua UUD 1945 seperti tertuang pada Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18, 18A, dan 18B. Perubahan aturan negara seperti di atas menempatkan daerah menjadi aktor sentral dalam pengelolaan republic yaitu dalam prinsip otonomi dengan desentralisasinya.
Menurut Prof. Ginandjar Kartasasmita, Ketua DPD RI, “Perubahan aturan main mengenai pemerintahan daerah merupakan afirmasi-konstitusi, bahwa daerah menjadi pengambil kebijakan sentral dalam mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (medebewind) serta diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.
Saat ini pelaksanaan otonomi daerah telah melahirkan perubahan yang cukup signifikan, terutama berhubungan antarpelaku pembangunan, pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Namun dalam prakteknya otonomi daerah masih menghadapi kendala yang harus segera dicarikan jalan keluarnya atau penanganannya secara sungguh-sungguh. Salah satu kendala yang dipaparkan oleh Ginandjar Kartasasmita adalah kurangnya kreativitas dan partisipasi masyarakat secara lebih kritis dan rasional. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, masyarakat diharapkan memiliki daya tahan dan daya adaptasi yang tinggi agar mampu menjalani kehidupan masa depan dengan sukses.
Untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat agar lebih berdaya, berpartisipasi aktif, serta penuh dengan kreativitas, pemerintah melontarkan komitmen yang berlevel internasional. Komitmen ini telah ditandatangani dalam KTT Millenium PBB pada tahun 2002 bersama 189 negara lainnya. Komitmen semua negara di dunia untuk memberantas kemiskinan ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam ”Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para kepala negara atau kepala pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, September 2002. Hasil deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam dokumen ”Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan”, yang juga telah ditanda-tangani oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi acuan dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia dengan target memberantas kemiskinan pada tahun 2015.
Dalam deklarasinya negara peserta menerapkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Dalam MDGs tersebut, terdapat 8 (delapan) tujuan (goal) yang hendak dicapai sampai tahun 2015 oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia, dengan tujuan pertama adalah mengatasi dan/atau memberantas kemiskinan dan kelaparan (United Nations, 2000).
Dengan demikian, pemerintah Indonesia telah membuat komitmen nasional untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dimana pemerintah dan semua perangkatnya dalam semua level, baik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat memikul tanggungjawab utama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan sekaligus memberantas kemiskinan yang terjadi di Indonesia paling lambat tahun 2015.
Kendati Indonesia ikut serta dalam kesepakatan global melaksanakan MDGs untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dicanangkan PBB sejak 2000, namun dalam Human Development Report 2007 yang dikeluarkan oleh UNDP, menunjukkan bahwa kualitas manusia Indonesia makin memburuk dalam 10 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut, HDI atau IPM Indonesia yang diukur dari pendapatan riil per kapita, tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf dan kualitas pendidikan dasarnya, ternyata peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Peringkat Indonesia dari tahun ketahun selalu menurun dari 110 menjadi peringkat 112 dari 175 negara yang dinilai UNDP (2003), walaupun pada tahun 2006 terdapat peningkatan ranking ke 110 (UNDP, 2007).
Sebagaimana kita alami, era ini merupakan kehidupan yang bercirikan perubahan yang cepat, kompleks, penuh resiko, dan penuh dengan kejutan. Dengan demikian individu, kelompok atau komunitas harus melakukan berbagai upaya untuk ikut berubah, menyesuaikan diri, atau mengambil kendali perubahan. Di sisi lain interdependensi antara komunitas, terkecil sekalipun, dan dunia sebagai totalitas, membuat semakin sulit bagi seorang individu untuk menghadapi perubahan sendirian. Apalagi melihat kenyataan, kenaikan harga BBM misalnya, yang merupakan perubahan disektor ekonomi dan energi akan mempengaruhi sector kehidupan yang lain.
Sejak tahun 1960, lahir sebuah konsep pemberdayaan komunitas yang disebut Community Development (selanjutnya disebut CD). CD adalah sebuah proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari sebuah komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat (United States Departement of Agriculture, 2005). CD tidak bertujuan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalahatau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat. CD adalah bekerja bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan (StandingConference for Community Development, 2001).
Pengembangan otonomi daerah yang diarahkan pada partisipasi aktif dari masyarakat sangat sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh CD. Kesesuaian antara kebijakan pemerintah dengan konsep pemberdayaan masyarakat seperti CD ini membutuhkan pendekatan yang tepat dalam mengimplementasikannya.
Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang Deficit based dan Strength Based. Pendekatan Deficit-based terpusat pada berbagai macam permasalahan yang ada serta cara-cara penyelesaiannya. Keberhasilannya tergantung pada adanya identifikasi dan diagnosis yang jelas terhadap masalah, penyelesaian cara pemecahan yang tepat, serta penerapan cara pemecahan tersebut. Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini bisa menghasilkan sesuatu yang baik, tetapi tidak tertutup kemungkinan terjadinya situasi saling menyalahkan atas masalah yang terjadi.
Di sisi lain, pendekatan Strengh Based (Berbasis kekuatan) dengan sebuah produk metode Appreciative Inquiry terpusat pada potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu atau organisasi untuk menjadikan hidup lebih baik. Appreciative Inquiry merupakan sebuah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan yang positif dengan memfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan (Cooperrider dan Srivastva, 1987; Cooperrider dkk., 2000; Fry dkk, 2002; Ludema dkk, 2000, dalam Gergen dkk., 2004).
Dalam sepuluh tahun terakhir, Appreciative Inquiry menjadi sangat populer dan dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti untuk mengubah budaya sebuah organisasi, melakukan transformasi komunitas, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akusisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, Appreciative Inquiry digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian.